PANGKALPINANG,BABELFAKTA — Carut marut pertimahan masif mulai terjadi tahun 2000, sejak adanya Otonomi Daerah dan dicabutnya status Timah sebagai komoditas strategis.
Sejak itu, masyarakat Bangka Belitung secara masif melakukan penambangan dengan kondisi-kondisi sebagai berikut. Tidak berdasarkan wilayah izin atau KP/IUP, tapi hanya berdasarkan kepemilikan lahan. Dimana ada cadangan timah, disitulah mereka melakukan penambangan. Dari karakter cadangan timah, khususnya cadangan darat. Relatif tidak diperlukan modal awal besar untuk bisa melakukan penambangan.
Menurut data yang berhasil dihimpun Redaksi BabelFakta.com, pemilik KP/IUP tidak berarti memiliki lahan/tanah dimana ada cadangan timah.
“Pemilik lahan, mayoritas tidak akan menjual lahan tersebut, tetapi mau mengerjakan sendiri penambangan timah dimana hasil penambangan dijual ke pemilik KP/IUP,” ungkap narasumber kepada BabelFakta.com, Kamis (18/4/2024).
Dikarenakan carut marut tersebut diatas, dimana kegiatan penambangan yang masif dilakukan oleh masyarakat dimana secara wilayah penambangan bisa terjadi diberapa wilayah.
“Adapun wilayah KP/IUP PT Timah, wilayah KP/IUP swasta, dan wilayah kawasan hutan HL, HP,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan aktifitas penambangan menjadi abu-abu secara hukum. Lalu lintas hasil tambang dilapangan sudah tidak sesuai/mengikuti norma-norma seharusnya. Siapa pihak yang bayar lebih besar maka pihak tersebut yang akan mendapat hasil tambang (pasir timah).
“Seharusnya PT Timah sebagai pemilik konsesi besar, lebih sering kalah harga untuk mendapatkan pasir timah tersebut, seiring dengan tidak mampunya PT Timah mengendalikan lalu lintas pasir timah di wilayah konsesinya sendiri. Maka muncullah Beking Aparat atau pihak yang bisa mengendalikan oknum Aparat Penegak Hukum (APH) atau Mafia yang terbagi menjadi beberapa kelompok yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda,” cetusnya.
Selanjutnya, ia menegaskan kerjasama dengan PT Timah di akhir tahun 2018 sampai dengan 2020 dimana hasil-hasil tambang oleh masyarakat (yang narasinya “illegal” tersebut) dikumpulkan oleh PT Timah.
“PT Timah mengumpul timah ilegal dari masyarakat dan dibayar kompensasinya untuk dilebur ditempat smelter swasta. Selanjutnya, hasil logam diikirim ke PT Timah untuk diekspor oleh PT Timah,” katanya.
Narasumber yang tidak mau namanya dicantumkan dan siap bertanggung jawab atas pemberita ini mengatakan PT Timah terima bersih hasil tambang ilegal yang dikerjakan oleh masyarakat dan untuk mengamankan perusahaan agar tidak diketahui bahwa produksi timah mereka dari tambang ilegal maka dilibatkan smelter swasta untuk mengelolanya menjadi balok-balok timah siap jual.
“Dengan mengacu pada carut marut pertimahan yang sudah berlangsung lama tanpa ada penegakan hukum dan solusi perbaikannya, Skema kerjasama dengan PT Timah tersebut adalah SKEMA YANG PALING BENAR. (Lepas siapa yang mengkoordinir) kenapa ?, karena hasil carut marut, kembali ke Negara melalui PT Timah. Masyarakat tambang tetap berkerja dan perekonomian Babel tetap berjalan,” sebutnya.
Ia juga mejelaskan terkait kerugian lingkungan 271 T (angka fantastis). Kerusakan alam Babel, sudah terjadi sejak peradaban timah berlangsung. Tidak adil kalau kerusakan alam tersebut dibebankan ke kegiatan kerjasama tahun 2015 – 2022.
“Siapa yang melakukan perusakan alam. Bagaimana dengan kewajiban reklamasi, jaminan reklamasi, dan lain-lainya,” tanyanya.
“Untuk eksploitasi sumberdaya alam, selain kerugian ekonomi tentu juga ada keuntungan ekonomi dari kegiatan tersebut. Pertambangan pasti merusak alam (itu konsekuensi),” pungkasnya.(MJ01)