PANGKALPINANG,BABELFAKTA — Kerusakan lingkungan akibat penambangan yang tidak mengikuti aturan pertambangan yang baik, membuat Bangka Belitung (Babel) berdampaknya sekali dengan lingkungan sekitarnya, bahkan kerusakan itu terjadi di darat dan laut.
Berdasarkan data dan fakta dilapangan kerusakan lingkungan terjadi baik di darat maupun di pantai ataupun laut Babel saja, ada lebih dari belasan ribu kulong dari bekas tambang yang terjadi selama ini.
Saat ini, sungai dan pantai banyak sudah mengalami pendangkalan karena tailing atau limbah sedimen dan itu terjadi bukan hanya rentan waktu 2015-2022 saja tapi sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda berada di Pulau Bangka.
Dikutip dari tvOnenews.com salah satu Dosen Teknik Pertambangan Universitas Islam Negeri Jakarta, Agus S. Djamil menilai kerugian dalam kasus korupsi timah sebesar Rp. 271 Triliun belum jelas apakah itu kerugian negara atau kerugian lingkungan, atau keduanya, dan itu mulai kapan periode waktunya.
“Setahu saya, kerugian 271 T itu diperkirakan dari kuantifikasi kerusakan lingkungan. Apakah itu kerugian dari PT Timah atau kerugian dari potensi penerimaan negara atau faktor kerusakan lingkungan, ini masih belum jelas. Pemerintah perlu segera menjelaskan rincian pos kerugian, sehingga semakin jelas siapa saja yang terlibat dan harus bertanggung jawab,” kata Agus, Senin (15/4/2024).
Ia juga menegaskan kerusakan lingkungan akibat penambangan yang tidak mengikuti good mining practices di Babel sangat berdampak sekali, bahkan kerusakan itu terjadi di darat dan laut.
“Kerusakan lingkungan terjadi baik di darat maupun di pantai ataupun laut. Di Pulau Bangka saja, ada lebih dari 12.500 kulong atau lubang bekas tambang banyak sekali. Sungai dan pantai banyak mengalami pendangkalan akibat limbah sedimen pertambangan timah dan itu terjadi sejak kapan pertanyaannya ?,” ucap Agus.
Agus juga menjelaskan sebaiknya tata kelola tambang timah diatur lebih akuntable dan tranparan lagi. Apalagi soal tambang ilegal, perlu dibereskan karena banyak oknum pejabat yang diduga terlibat dalam tambang timah.
“Tata niaga pertimahan yang cukup rumit itu, saya dengar justru terjadi setelah era Reformasi, dimana PT Timah tidak lagi pegang monopoli/mandat mengelola utama timah sebagai komoditas strategis,” ujarnya.
Selanjutnya Agus menyebutkan, para penambang “illegal” itu juga tidak jelas batasannya, karena keterlibatan oknum pemegang kewenangan lintas sektor yang kolutif.
“Timah kembali jadi komoditas sangat penting. Oleh karena itu peranan negara perlu sinergi bersama swasta untuk membangun tata kelola yang lebih baik. Apalagi, saat ini memasuki era transisi energi semakin membutuhkan timah sebagai elemen penting,” tegasnya.
Saat ini, Indonesia sudah berkomitmen untuk melakukan transisi energi baru terbarukan dan bahan Timah serta semua mineral ikutannya, seperti monasit, xenotim, dan zircon, sangat strategis dibutuhkan untuk era listrik, industri Energi Baru-Terbarukan (EBT) untuk target Net Zero Emission 2060.
“Jadi peran Babel sangat penting untuk mendukung dan mensukseskan EBT ini karena hampir semua bahan bakunya itu bisa didapatkan dari hasil pertambangan timah,” tutupnya.(MJ01)