PANGKALPINANG,BABELFAKTA — Sungguh malang nasib para bos pemilik peleburan timah/smelter semua harta dan asetnya dirampas oleh negara serta dijebak oleh perusahaan milik negara dalam skenario sewa penyewa dapur masak pelebur timah dan harus menanggung semua kerusakan alam di Bangka Belitung.
Kata “Dijebak” layak disandangkan kepada para bos-bos smelter harus mengikuti semua aturan main dalam kesepakatan yang dibuat-buat dalam sebuah pejanjian kontrak perusahaan boneka sebagai jalan masuk untuk memberikan sedikit keuntungan dan dibagikan kepihak-pihak lain.
Permainan badut-badut berplat merah memberikan peluang dan juga pengharapan agar para bos-bos smelter timah bisa masuk dalam permainan sulap bim sala bim jadi. Sudah banyak menyeret-nyeret para pengusaha, pemilik smeleter, birokrat hingga selegram dan artis terkenal ikut menikmati bagi-bagi cuan dari hasil kekayaan alam Babel.
Masyarakat pun sekarang dibuat binggung apa hubungannya penyegelan 5 smelter di pulau Bangka dengan dugaan kerusakan alam yang terkesan membenarkan bahwa nilai hingga 271 T. Padahal jika telusuri penelitian salah satu orang ternyata nilai kerusakan itu berada di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Timah Tbk masa priode 2015-2022.
Saat menjadi narasumber Focus Group Discussion dengam tema Era Baru Tata Kelola ESDM (Timah) Babel Pasca 271 T, yang digelar oleh HMI dan Korps HMI-Wati Babel, di PIA Hotel, Senin (6/5/2024).
Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Bambang Patijaya menegaskan, stigma Rp217 Triliun yang kini menjadi buah bibir di masyarakat setelah terungkapnya kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di IUP milik PT Timah Tbk.
“Saya adalah orang yang paling tidak setuju terkait Rp271 Triliun, itu adalah sesuatu yang masih refutable (dapat disangkal -red) karena hanya pendapat dari seorang ahli yang saya juga tidak tahu kompetensinya seperti apa dan kerugian negara,” ungkapnya dikutip dari negerilaskarpelangi.com.
BPJ juga menegaskan jika ingin menyampaikan pandangan, itu, boleh-boleh saja, namun dalam hal ini ia melihat Rp271 T yang disampaikan itu mungkin tidak pas.
“Tentu dengan stigma Rp271 Triliun ini kita terdampak kerugiannya apa ?,” sebutnya.
Selanjutnya kenapa kata dirampas juga pas disematkan kepada bos-bos smelter, hal ini dikerenakan 5 smelter pun disita oleh Kejaksaan Agung RI, berselang berapa hari kemudian smelter yang disita diserahkan kepada pihak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang nanti dikelola oleh PT Timah Tbk.
Pernyataan Kepala Badan Pemulihan Aset Kejaksaan Agung RI, Amir Yanto yang mengatakan lima perusahaan smelter timah yang disita oleh Kejagung di Pulau Bangka akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar tidak rusak.
Adapun lima smelter yang disita tersebut CV VIP, PT SIP, PT TIN, PT SBS dan PT RBT dikarenakan terlibat dalam dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di Izin Usaha Pertambangan PT Timah tahun 2015-2022 yang diperkirakan merugikan negara 271 T akibat kerusakan lingkungan di Babel.
“Makanya kita adakan rapat koordinasi supaya harapannya adalah aset barang bukti ini beroperasional sehingga masyarakat maupun kegiatan ekonomi yang ada selama ini agar tetap bisa berjalan seperti sebelumnya,” ungkap Amir Yanto saat kofrensi pers. Selasa (23/4/2024) di kantor Gubernur Babel.
Hal ini menjadi sorotan sebuah organisasi dan mengundang reaksi pakar hukum Jhohan Adhi Ferdian, S.H.,M.H.,C.L.A. yang juga Ketua DPW Himpunan Konsultan Hukum Pertambangan Indonesia Prov. Bangka Belitung dan Dosen Hukum Pertambangan Universitas Pertiba Saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jhohan Adhi Ferdian mengatakan apa yang dikatakan oleh Kepala Badan Pemulihaan Aset Kejagung RI. Hari ini di kantor Gubernur Babel tidak sesuai dengan teori hukum yang berlaku dinegeri ini.
“Saya belum menemukan teori hukum apa yang dipakai jika asset pribadi milik orang lain yang disita tetapi belum diputuskan oleh hakim Pengadilan sebagai asset yang dirampas oleh negara malah dapat dipakai dan dikelola oleh pihak lain,” ungkapnya kepada awak media. Selasa (23/4/2024) siang setelah ramai diberitakan dibeberapa media.
Jhohan Adha juga mempertanyakan bagaimana dengan keuntungan dari hasil pengelolaan itu ? Masuk sebagai kekayaan pribadi si pemilik perusahaan atau masuk kedalam kas negara ?
Dan bagaimana dengan kerugian dan hutang piutang yang timbul dari pengelolaan asset tersebut, apakah negara bersedia membayarnya ?
“Jangan samakan penyitaan dengan perampasan, karena hal itu berbeda secara kaidah hukum, penyitaan adalah mengambil barang atau benda dari kekuasaan pemegang benda itu hanya untuk kepentingan pemeriksaan dan bahan pembuktian, penyitaan hanya memindahkan penguasaan barang dan belum terdapat pemindahan kepemilikian,” tegasnya.
Akademisi pakar hukum pertambangan asal babel menyebutkan pemakaian smelter/asset pribadi/perusahaan milik “tersangka” yang diserahkan ke pihak lain dengan alasan solusi agar perekonomian masyarakat dapat stabil menurut saya tidak dapat dibenarkan.
“Pemakaian smelter/asset pribadi/perusahaan milik “tersangka” dari dugaan tindak pidana yang diserahkan ke pihak lain dan diputuskan hanya lewat rapat koordinasi menurut saya sangat “ngawur”, karena PJ Gubernur adalah pemerintah sipil, bukan pemegang kekuasaan yudikatif, PJ Gubernur tidak berwenangan masuk terlalu jauh kedalam ranah tindak pidana, dan rapat koordinasi bukan merupakan intrumen hukum,” cetusnya. (MJ01)