PANGKALPINANG,BABELFAKTA – Pernyataan Bambang Hero Saharjo, pakar lingkungan juga Guru Besar IPB University perlu dipertanyakan ?. Akibat hasil penelitianya, Kejaksaan Agung RI menangkap, menyita aset pribadi hingga perusahaan smelter disita atas dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk senilai 271 T.
Bambang mengatakan, sudah riset di Bangka Belitung. Hasil pantauan citra satelit menunjukkan kerusakan parah. Banyak lokasi bekas tambang terbengkalai menimbulkan lubang besar karena tidak dinormalisasi dan ditinggalkan begitu saja.
“Bukan hanya dalam kawasan hutan tapi di luar kawasan hutan sudah dibuka. Ini berbahaya, kerusakan hutan. Banyak perusahaan tidak gunakan izin pakai kawasan hutan,” katanya dalam kanal YouTube Kejagung, Februari lalu.
Dalam paparannya, Bambang menunjukkan sebagian lokasi tambang yakni di Desa Perlang, Cenglong, Lubuk Besar, Bangka Belitung. Lokasi itu terlihat gundul dan banyak lubang besar bekas tambang sudah jadi danau.
Luasan IUP tambang di Bangka Belitung 348.653,574 Hektar. Jumlah itu tersebar di tujuh Kabupaten yakni Bangka, Bangka Barat, Bangka Selatan, Bangka Tengah, Belitung, Belitung Timur dan Kota Pangkalpinang.
Sedangkan, luas galian tambang Bangka Belitung mencapai 170.363,064 hektar. Jumlah itu menyebar di tujuh lokasi baik di dalam ataupun luas kawasan hutan.
Dalam hitungannya, total kerugian karena aktivitas tambang ilegal ini mencapai Rp271, 070 triliun. Jumlah itu dia dapatkan dari kerusakan di dalam dan non kawasan hutan. Rinciannya, biaya kerugian lingkungan Rp183,703 triliun, kerugian ekonomi lingkungan Rp74, 493 triliun, biaya pemulihan lingkungan Rp12, 157 triliun.
“Kita dihitung berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014,” katanya.
Berdasarkan dokumen IKPLHD Tahun 2021, hasil inventarisasi data kolong oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung [BPDASHL] Baturusa – Cerucuk Tahun 2018, jumlah kolong yang tersebar di semua wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sebanyak 12.607 kolong dengan total luas 15.579,747 Hektar.
Rinciannya, Kabupaten Bangka Barat 4.036 kolong [1.872,590 Hektar], Kabupaten Bangka 3.360 kolong [2.473,404 Hektar], Pangkalpinang 38 kolong [83,135 Hektar], Kabupaten Bangka Tengah 1.731 kolong [2.535,090 Hektar], Kabupaten Bangka Selatan 823 kolong [1.151,640 Hektar], Kabupetn Belitung 1.193 kolong [2.275,015 Hektar], dan Kabupaten Belitung Timur 1.146 kolong [5.188,87 Hektar].
Kolong-kolong tersebut tersebar di Areal Penggunaan Lain [APL] yaitu 10.269,030 Hektar atau setara 65,91%, sisanya 5.310,717 Hektar atau sekitar 34,09% di hutan yang didominasi hutan produksi [4.352,132 Hektar].
Berdasarkan dokumen IKPLHD [Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2019, luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan telah mengusasi 1.007.372,66 Hektar dari 1.642.400 Hektar total luas Bangka dan Belitung. Terdapat 25 jenis bahan galian, yang dikelola ratusan perusahaan.
Dari luasan tersebut, hampir 50% izin pertambangan, dimiliki PT. Timah Tbk. Berdasarkan paparan Tahun 2021, perusahaan ini memiliki 120 IUP dengan luas 428.379 Hektar. Luas IUP Darat 288.716 Hektar, sedangkan luas IUP Laut 139.663 Hektar.
Anggi Siahaan, Kepala Bagian Humas PT. Timah Tbk, di Mongabay Indonesia, Kamis [15/12/2022], mengatakan, hingga saat ini PT. Timah secara konsisten melakukan reklamasi lahan bekas tambang. Tahun 2022, ditargetkan 402,5 Hektar yang hingga November 2022 telah terealisasi 366,55 Hektar.
Terkait korban kecelakaan tambang, tahun 2021 PT. Timah mencatatkan zero fatality dan pada 2022 hingga 15 Desember tidak ada.
Jaringan Advokasi Anti Tambang (JATAM) Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam dikutip dari Mongabay, Senin, (1/4/2024). Ia pun mengingatkan, Kejaksaan untuk bersiap mempersiapkan diri di pengadilan agar bisa membuktikan dan meyakinkan hakim kerugian capai Rp271 Triliun.
“[Baru] klaim, klaim itu akan diuji di pengadilan, yang diputus majelis hakim di pengadilan,” katanya.
Apabila jaksa tak bisa menunjukkan bukti konkret terkait nilai itu, maka ada potensi hakim menolak tuntutan. Sebab, kata Jamil, dalam UU Tindak Pidana Korupsi telah dijelaskan korupsi harus terang dan jelas.
“Jadi JPU-nya kalau tidak mampu membuktikan segitulah kerugiannya, bahkan dianulir putusan di tingkat banding atau Mahkamah Agung.” cetus Muhammad Jamil.
Jaksa pun, katanya, jangan hanya fokus pada menangkap dan menuntut kewajiban ganti rugi pada tersangka. Juga harus tuntut dengan pertanggung jawaban pemulihan kerusakan lingkungan hidup.
Kerusakan yang ditimbulkan tambang ini, katanya, sangat parah. Ribuan lubang bekas galian tambang ditinggalkan begitu saja tanpa ada normalisasi hingga menyebabkan, ekosistem lingkungan terganggu serta terdampak pada masyarakat.
“Para tersangka harus dituntut untuk melakukan perbuatan tertentu pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan kerusakan sosial,” katanya.(MJ01)