PANGKALPINANG,BABELFAKTA – Kasus korupsi tata niaga komoditas timah di Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk senilai Rp 300 triliun lebih, kini sudah sampai tahap penyerahan atau pelimpahan dua orang tersangka Thamron dan Albani ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan oleh pihak Kejaksaan Agung.
Kasus korupsi yang sangat luar biasa ini menyita perhatian publik ini, berawal dari penyataan seorang akademisi IPB, Bambang Hero Suharjo yang menyebutkan ada kerusakan ekologis akibat pertambangan timah ilegal di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dari pantauan satlit dengan total kerusakan senilai Rp 271 Triliun.
Hal ini memancing reaksi dari berbagai akademisi dan pratiksi hukum, salah satunya dari Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman mengatakan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga yang menurut konstitusi berwenang dalam melakukan penghitungan kerugian negara atas tindak pidana korupsi atau tipikor.
“Kerugian akibat kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), jadi masyarakat jangan dikasih informasi yang menyesatkan,” katanya.
Yusri Usman juga menjelaskan dana Jaminan Reklamasi (Jamrek) yang disetorkan para pengusahan pertambangan kepada Ditjen Minerba untuk memulihkan lubang bekas tambang jika pemilik IUP tidak melakukan reklamasi.
“Dana Jamrek menjadi syarat pengurusan Rancana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) setiap tahun. Sehingga muncul pertanyaan, apakah seluruh pemegang IUP tidak setorkan Dana Jamrek dengan persetujuan oknum Ditjen Minerba Kementerian ESDM, itu lebih celaka lagi,” cetusnya.
“Kerugian akibat kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), jadi masyarakat jangan dikasih informasi yang menyesatkan,” tambah Yusri.
Yusri menegaskan, penghitungan pakar IPB itu, seharusnya tidak serta-merta dijadikan Kejagung sebagai patokan. Secara konstitusional BPK lebih berhak menghitung besarnya kerugian negara.
“Jangan main-main, karena ini menyangkut harkat dan martabat warga negara yang saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka, serta nama baik keluarganya,” ucap Yusri.
Ia pun menambahkan kewenangan BPK RI sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tertuang dalam Pasal 23 E UUD 1945 dan dipertegas kembali dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.
“Sebagai lembaga pemeriksa tertinggi harus menghitung kerugian negara secara adil, bijaksana, objektif dan komperhensif terhadap dugaan korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah Tbk agar publik tidak simpang siur memahaminya,” pungkasnya.
Sementara itu, berdasarkan hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), selain kerugian Lingkungan Rp 271 triliun, ditemukan juga kerugian atas pembayaran bijih timah kepada mitra PT Timah Tbk sebesar Rp 26,649 triliun dan kerugian kerjasama smelter swasta hanya Rp 2,285 triliun.
Hal ini diungkapkan kepala BPKP, Muhammad Yusuf Ateh saat melaporkan hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara akibat korupsi tata niaga komoditas timah diwilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin, Rabu (29/5/2024) di kantor Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
“Telah ditemukan kerugian negara atas pembayaran bijih timah kepada mitra sebesar Rp 26,649 triliun yang dilakukan oleh PT Timah Tbk dan kerugian lingkungan sebesar Rp 271,1 triliun, sedangkan kerugian atas kerja sama PT Timah Tbk dengan smelter swasta hanya sebesar Rp 2,285 triliun,” ungkap Jaksa Agung.
Ditempat terpisah, Jhohan Adhi Ferdian, S.H.,M.H. selaku Managing Partners. Menilai kerusakan ekologis sebesar Rp. 271 triliun bukan dihitung dari kerusakan yang diakibatkan dari kasus korupsi tata niaga komoditas timah pada Tahun 2015-2022, tetapi dihitung berdasarkan kerusakan Bangka Belitung saat ini, artinya kerusakan tersebut telah dimulai jauh sebelum itu, bisa saja pada masa Kerajaan Sriwijaya, Kolonialisme, sampai Kegiatan illegal Mining yang dilakukan oleh hampir mayoritas masyarakat Babel saat ini.
Sangat tidak fair jika kerusakan akibat aktifitas pertambangan yang dilakukan sejak zaman kerajaan dan kolonial Belanda di pulau Bangka dan pulau Belitung dilimpahkan dan menjadi tanggung jawab 22 tersangka yang ditetapkan oleh pihak Kejagung RI.
“Jika BPKP memasukkan kerusakan ekologis sebesar Rp 271 triliun sebagai bagian dari kerugian negara, semestinya BPKP juga menghitung nilai jaminan reklamasi yang telah disetorkan atau dibayarkan oleh 6 (enam) perusahaan smelter tersebut pada Kementerian ESDM. Sebagaimana pasal 100 UU Nomor 3 Tahun 2020 menyatakan pemegang IUP atau IUPK wajib menyediakan dan menempatkan dana jaminan reklamasi dan/atau dana jaminan pascatambang”, tegasnya saat jumpa pers, Rabu (5/6/2024).
Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi JO UU Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa tindak pidana korupsi sebagai salah satu unsur perbuatan melawan hukum, merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Disini timbul pertanyaan, apakah nilai kerusakan ekologis termasuk nilai kerugian negara dalam tindak pidana tersebut?. Saya jawab, bisa, tetapi dengan tanda kutip “Jika dipaksakan” kalau orang bangka menyebutnya “Daripada malu muka alung masukken bai”. Kenapa?, karena pada pasal 1 ayat 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai,” tegas Jhohan.
Dia menilai, jika kerusakan ekologis menjadi bagian dari kerugian negara maka seharusnya 22 orang tersangka ini hanya bertanggung jawab terhadap kerusakan ekologis yang dilakukan pada medio Tahun 2015 s/d 2022 saja.
“Ada apa dengan kasus korupsi tata niaga timah ini, ada dugaan penetapan 22 orang tersangka ini menjadi “Tumbal” atas tindakkan dan kesalahan yang dilakukan oleh oknum pimpinan PT Timah, yang tidak mampu mengelola aset mereka untuk mendapatkan keuntungan besar bagi negara serta merampas semua aset-aset berharga dan smelter yang dimiliki oleh tersangka,” tutupnya.(MJ01)